GUYoGpApTSrlBSY5TpC8BSd8Ti==

Purwakarta yang Kian Sesak: Saat Ranwal RPJMD Belum Menyentuh Akar Masalah Lingkungan

SIDIKJARI- Saya tumbuh di Purwakarta, dan sejak kecil, saya terbiasa melihat pemandangan hijau yang asri, udara yang masih segar, dan sungai-sungai yang mengalir jernih di sekitar kampung. Namun, belakangan ini, saya merasakan ada yang berubah. 

Udara terasa lebih pengap, sungai semakin kotor, dan hutan-hutan yang dulu rimbun kini mulai botak satu per satu.

Dua masalah yang menurut saya paling mencolok adalah sampah yang terus menumpuk dan hutan yang terus menipis. Masalah yang sebenarnya sudah lama kita hadapi, tapi belum pernah benar-benar diselesaikan. 

Karena itu, ketika saya membaca Rancangan Awal RPJMD 2025–2029, saya berharap menemukan arah yang jelas dalam menyelamatkan alam kampung saya. Namun harapan itu masih menggantung. 

Padahal Bupati Purwakarta sendiri telah menerbitkan Surat Edaran Nomor:100.3.4/104-DLH/2025 tentang Gerakan Ngosrek Bareng yang diterbitkan sejak 7 Maret 2025 lalu, melakukan penanaman pohon sampai mitigasi bencana alam. 

Tapi mengapa persoalan lingkungan dan hutan tidak mendapat tempat semestinya dalam Rancangan Awal RPJMD 2025–2029?

*Sampah yang Meningkat, Solusi yang Terlambat*

Salah satu masalah terbesar yang kita hadapi di Purwakarta adalah pengelolaan sampah. 

Data BPS Purwakarta menunjukkan bahwa jumlah sampah yang dihasilkan di kabupaten ini meningkat sekitar 5% setiap tahun. 

Pada tahun 2023, Purwakarta menghasilkan 258.431 ton sampah, atau sekitar 708 ton per hari. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 15% yang dapat didaur ulang, sementara sisanya terbuang begitu saja ke tempat pembuangan akhir (TPA). 

Masalahnya, TPA di Cikolotok-Pasawahan yang menjadi satu-satunya fasilitas pengelolaan sampah terbesar di daerah ini sudah hampir mencapai kapasitas penuh. 

Selain itu, TPS (Tempat Pembuangan Sementara) di beberapa kecamatan tidak merata, hanya terdapat 66 unit di seluruh Purwakarta, sehingga banyak sampah yang tidak terkelola dengan baik.

Saya pribadi setiap hari memperhatikan ketika berkeliling di sekitaran Purwakarta. Tumpukan sampah menjadi pemandangan biasa. 

Ini bukan sekadar soal 'malas buang sampah', tapi juga menunjukkan bahwa sistem pengangkutan dan pengelolaan sampah belum menjangkau semua lapisan wilayah. 

Adakalanya saya sendiri ingin membuang sampah, tapi bingung harus ke mana. Itu pula yang dialami sejumlah masyarakat di wilayahnya—tidak adanya fasilitas pembuangan sampah yang mudah dijangkau membuat banyak orang akhirnya memilih membuang sampah sembarangan.

Kondisi ini semakin diperburuk oleh rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah. 

Survei yang dilakukan oleh Lembaga Studi Pembangunan Purwakarta menunjukkan bahwa 72% masyarakat masih belum terbiasa memisahkan sampah organik dan non-organik di rumah tangga. Selain itu, sistem pemilahan yang seharusnya sudah dimulai dari rumah tangga belum berjalan dengan optimal, dan bank sampah pun belum tersebar merata. Masalah lain yang tak kalah penting adalah minimnya fasilitas pengolahan limbah domestik di tingkat rumah tangga, yang menyebabkan pencemaran lebih lanjut, terutama pada sungai-sungai yang semakin tercemar.

Sistem pengelolaan sampah di Purwakarta masih sangat bergantung pada metode landfill yang tidak ramah lingkungan. Pengelolaan berbasis 3R (Reduce, Reuse, Recycle) yang lebih ramah lingkungan belum diterapkan secara maksimal. Selain itu, pengukuran volume sampah yang masih dilakukan berdasarkan taksiran armada pengangkut tanpa adanya sistem digital yang terintegrasi juga menjadi hambatan besar dalam mengelola sampah secara efisien.

Ironisnya, meskipun pengelolaan sampah telah dicantumkan dalam Ranwal RPJMD sebagai salah satu prioritas, langkah-langkah yang disebutkan terasa sangat umum dan kurang konkret. Tidak ada terobosan nyata yang dapat membawa perubahan signifikan, seperti pembangunan fasilitas daur ulang modern atau edukasi berbasis komunitas yang menyeluruh. Semua itu hanya akan terwujud jika ada kemauan politik yang kuat untuk memprioritaskan.

*Hutan yang Kian Menyempit, Reboisasi yang Masih Terbatas*

Di sisi lain, masalah lingkungan yang tidak kalah genting adalah semakin menipisnya kawasan hutan. Padahal, berdasarkan data KLHS RTRW Kabupaten Purwakarta, hutan masih mendominasi penggunaan lahan di Purwakarta dengan luas 29.938,34 hektar atau sekitar 30,15% dari total wilayah. Ini seharusnya menjadi modal besar dalam menjaga kualitas udara, konservasi air, dan mencegah bencana seperti longsor atau banjir. Namun faktanya, banyak dari kawasan ini yang secara bertahap berubah fungsi.

Kebutuhan lahan pemukiman terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk. Saat ini, lahan yang sudah digunakan untuk pemukiman mencapai 9.100,07 hektar atau 9,16% dari total wilayah, dan angka ini diprediksi terus bertambah. Tanpa pengendalian dan perencanaan yang ketat, pertumbuhan lahan terbangun akan menekan kawasan hutan dan ruang terbuka hijau. Padahal, kawasan hutan dan lahan pertanian seperti sawah (22,05%) dan perkebunan (20,21%) sangat penting bagi ketahanan pangan dan keseimbangan ekologi daerah.

Saya masih ingat beberapa tahun lalu, ketika berkegiatan di daerah pegunungan Purwakarta, suasananya begitu sejuk dan asri. Udara segar langsung terasa begitu turun dari kendaraan. Kini, beberapa lokasi yang dulu hijau dan rimbun perlahan-lahan terbuka, dijadikan lahan pertanian baru atau bahkan permukiman. Rasa kehilangan itu nyata. Seolah satu per satu paru-paru kita menghilang, dan kita tak bisa berbuat banyak.

Program reboisasi di Purwakarta masih sangat terbatas dari sisi cakupan dan partisipasi masyarakat. Data dari Dinas Kehutanan Purwakarta menunjukkan bahwa kawasan hutan di kabupaten ini seluas 29.938,34 hektar, namun hanya sekitar 15% yang terlibat dalam program reboisasi dalam lima tahun terakhir. Sebagian besar lahan hutan telah beralih fungsi menjadi lahan pertanian, perkebunan, atau pemukiman. Kehilangan kawasan hutan ini mengurangi jumlah "paru-paru" daerah yang seharusnya berfungsi untuk menyaring polusi udara dan mengatur iklim mikro.

Banyak program hanya bersifat simbolik, dan belum menjadi gerakan massal yang melibatkan sekolah, pesantren, kelompok tani, hingga pelaku UMKM. Dari yang saya amati, kegiatan tanam pohon sering kali hanya berlangsung satu hari—ramai di awal, penuh semangat seremonial, tapi kemudian senyap. Tidak ada tindak lanjut. Tidak ada yang memastikan pohon-pohon itu tumbuh dan bertahan. Saya memang tidak ikut langsung, tapi sering memperhatikan dari kejauhan. Dari berita, media sosial, atau cerita warga. Rasanya seperti melihat sesuatu yang seharusnya penting, tapi hanya diperlakukan sebagai formalitas. Tidak ada yang benar-benar merasa memiliki.

Masalah ini semakin memperburuk potensi bencana alam yang bisa terjadi, seperti longsor dan banjir. Purwakarta memiliki topografi berbukit dan curah hujan tinggi, menjadikannya rentan terhadap bencana alam seperti tanah longsor dan banjir. Pada tahun 2022, Purwakarta tercatat mengalami 198 kejadian bencana alam, dengan 23 di antaranya merupakan tanah longsor dan pergerakan tanah. Kecamatan Bojong menjadi wilayah dengan kejadian terbanyak, yaitu 36 kali, didominasi oleh longsor dan pergerakan tanah. Kehilangan tutupan pohon di kawasan hutan ini meningkatkan potensi terjadinya bencana tersebut. Dan berdasarkan informasi dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Purwakarta, wilayah ini memang rawan terhadap bencana tanah longsor, terutama di daerah perbukitan seperti Kecamatan Darangdan dan Bojong

Program reboisasi yang ada saat ini memang mencakup sebagian kawasan hutan, tetapi anggaran dan sumber daya yang terbatas membuat program ini tidak dapat mencakup seluruh kawasan yang membutuhkan pemulihan. Reboisasi juga sering dianggap hanya sebagai proyek pemerintah, tanpa melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung. Padahal, jika reboisasi bisa menjadi gerakan sosial yang melibatkan sekolah-sekolah, kelompok tani, dan komunitas pemuda, maka dampaknya bisa jauh lebih besar dan lebih terasa. Saya percaya, ketika masyarakat merasa memiliki pohon yang mereka tanam, mereka akan menjaganya seperti menjaga kehidupan itu sendiri.

*Yang Saya Harapkan dari RPJMD*

Jika saya boleh bermimpi, saya ingin RPJMD ini berani. Berani memprioritaskan lingkungan sejajar dengan infrastruktur dan industri. Berani mengalokasikan anggaran yang cukup untuk pembangunan tempat pengolahan sampah terpadu. Berani menargetkan reboisasi yang lebih ambisius, dengan melibatkan ribuan warga, dari pelajar hingga petani, dalam proses restorasi lahan. Kita harus berhenti menganggap sektor lingkungan sebagai sektor tambahan yang dapat ditunda. Lingkungan adalah fondasi kehidupan kita, dan tanpa lingkungan yang sehat, pembangunan sebesar apa pun tidak akan berkelanjutan.

Alokasi anggaran untuk sektor lingkungan hidup di Kabupaten Purwakarta masih sangat kecil dibandingkan dengan sektor infrastruktur. Sektor lingkungan hidup seringkali dianggap kurang prioritas, meskipun keberlanjutan pembangunan Purwakarta sangat bergantung pada lingkungan yang sehat. Di sisi lain, sektor infrastruktur, yang mencakup pembangunan jalan, jembatan, dan fasilitas umum lainnya, mendapat porsi anggaran yang jauh lebih besar, karena menjadi fokus utama dalam pengembangan daerah.

Ketimpangan ini menunjukkan pentingnya memberikan perhatian yang lebih besar terhadap sektor lingkungan agar pembangunan yang dilakukan tidak hanya berorientasi pada fisik, tetapi juga mendukung keberlanjutan alam dan kualitas hidup masyarakat di masa depan.

*Penutup: Jangan Lagi Tunda Perubahan*

Masalah lingkungan di Purwakarta tidak akan membaik dengan sendirinya. Kita harus berhenti menganggapnya sebagai urusan yang bisa ditunda. RPJMD, sebagai dokumen perencanaan lima tahunan, adalah kesempatan penting untuk membuat perubahan besar. Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan siapa pun, tapi sebagai warga yang merasa punya tanggung jawab untuk bersuara. Karena saya yakin, perubahan itu dimulai dari kesadaran kita bersama, bukan hanya dari kebijakan pemerintah. Dan semoga tulisan ini menjadi bagian kecil dari kesadaran itu.

*Catatan Penulis:*
Ini adalah bagian kedua dari seri “RPJMD Purwakarta: Harapan dan Kenyataan”. Tulisan pertama berjudul: Mencari Keseimbangan Ekonomi dalam Ranwal RPJMD Purwakarta


_Penulis: Agus Sanusi, M.Psi_
_Direktur Analika Purwakarta, Pusat Kajian Kebijakan Publik_

Komentar0

Type above and press Enter to search.