SIDIKJARI- Sebagai warga Purwakarta, saya melihat langsung bagaimana kabupaten ini tumbuh dengan cepat, terutama di sektor industri. Pabrik-pabrik bermunculan, kawasan industri berkembang, dan jalan-jalan besar dibangun mengarah ke sana. Saya tidak menolak itu—pertumbuhan industri memang membawa perubahan, menciptakan lapangan kerja, dan memperluas aktivitas ekonomi.
Namun ketika saya membaca data PDRB terbaru, saya mulai bertanya-tanya: apakah ini arah pembangunan yang seimbang? Sektor industri pengolahan, misalnya, menyumbang sekitar 57,6% terhadap total PDRB Purwakarta pada tahun 2024, menjadikannya sektor dengan kontribusi terbesar terhadap ekonomi daerah. Dalam lima tahun terakhir, sektor ini mengalami peningkatan stabil, dari Rp38.224,62 miliar pada 2020 menjadi Rp50.836,80 miliar pada 2024. Ini mencerminkan bagaimana Purwakarta sangat mengandalkan sektor industri pengolahan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan hanya menyumbang sekitar 6,5% PDRB pada tahun 2024, meskipun tetap penting sebagai penyedia lapangan kerja di pedesaan. Pertumbuhannya pun relatif stagnan: dari Rp2.726,05 miliar pada 2020 menjadi hanya Rp2.880,53 miliar pada 2024—bahkan menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Ini memperlihatkan ketimpangan yang nyata dalam arah pembangunan kita.
*Satu Kaki Terlalu Berat*
Saya percaya bahwa ekonomi yang sehat harus berdiri di atas lebih dari satu pilar. Sayangnya, Purwakarta masih terlalu bergantung pada industri. Itu artinya, ketika satu sektor ini terguncang, ekonomi daerah bisa ikut goyah. Kita semua merasakannya saat pandemi kemarin—beberapa pabrik tutup, pendapatan turun, dan efeknya menjalar ke banyak keluarga.
Sementara itu, sektor pertanian yang seharusnya bisa jadi penyangga justru stagnan. Saya melihat petani-petani di kampung saya masih menanam dengan cara lama, mengandalkan hujan, dan kesulitan menjual hasil panennya dengan harga yang layak. Pertanian terasa seperti pekerjaan yang dilakukan karena terpaksa, bukan karena menjanjikan masa depan.
Kalau RPJMD memang ingin memperbaiki ini, maka saya berharap langkahnya lebih dari sekadar pernyataan program. Pemerintah harus turun tangan langsung—bukan hanya membangun irigasi, tapi juga menghadirkan penyuluh, pelatihan, bahkan subsidi alat bagi petani yang siap berubah.
*Pariwisata dan Potensi yang Masih Tertidur*
Saya juga ingin bicara soal pariwisata. Purwakarta punya banyak tempat indah. Tapi keindahan itu hanya dinikmati oleh mereka yang kebetulan tahu, atau kebetulan lewat. Situ Buleud, Waduk Jatiluhur, Curug Tilu—semuanya punya daya tarik, tapi tak ada yang betul-betul dikelola serius.
Padahal jika melihat data, sektor penyediaan akomodasi dan makan minum yang bisa merepresentasikan kegiatan wisata mengalami pertumbuhan tahunan yang cukup baik: dari Rp745,1 miliar pada 2020 menjadi Rp1.048,39 miliar pada 2024. Kontribusinya memang masih kecil—sekitar 1,19% terhadap PDRB tahun 2024—tapi tren pertumbuhannya menunjukkan bahwa sektor ini punya potensi besar jika dikelola secara serius.
Pariwisata itu soal ekosistem. Bukan hanya membangun jembatan atau toilet, tapi menciptakan pengalaman. Kalau RPJMD tidak meletakkan ini sebagai program utama, saya khawatir potensi ini akan terus tertidur.
*Ranwal RPJMD: Niat Sudah Ada, Tapi Arah Masih Ragu-Ragu*
Saya membaca Ranwal RPJMD 2025–2029. Ada harapan di sana. Saya melihat ada rencana memperkuat teknologi pertanian, memperbaiki infrastruktur desa, dan mempromosikan pariwisata. Tapi sejujurnya, semuanya masih terasa terlalu umum, terlalu aman.
Tidak ada strategi besar yang membuat saya yakin bahwa arah pembangunan lima tahun ke depan akan benar-benar berubah. Kita butuh RPJMD yang berani memilih. Yang tidak sekadar menyenangkan semua pihak, tapi fokus pada keberpihakan terhadap yang paling tertinggal.
*Menuju Ekonomi yang Lebih Seimbang*
Bagi saya, membangun ekonomi Purwakarta berarti membangun semua—bukan hanya industri, tapi juga pertanian dan pariwisata. Saya yakin kita tidak akan kuat kalau hanya berdiri di satu kaki. Kita harus memberi ruang yang setara bagi petani dan pelaku wisata lokal untuk tumbuh.
Keseimbangan itu butuh keputusan yang berani. Pemerintah harus berani memprioritaskan pembangunan infrastruktur yang berdampak langsung ke ekonomi rakyat, bukan hanya yang menunjang industri besar. Harus berani mendanai pelatihan petani dan pelaku UMKM, bukan hanya menarik investor besar. Dan yang tak kalah penting, harus mau mendengar lebih banyak suara dari masyarakat bawah, bukan hanya suara dari balik meja.
*Penutup: Pembangunan yang Mendengar dan Mengakar*
Saya percaya RPJMD bukan hanya milik para pejabat yang menyusunnya, tapi milik kita semua. Karena yang merasakan dampaknya adalah rakyat biasa—petani, nelayan, pelaku wisata, dan pekerja kecil di kampung-kampung.
Saya berharap, rencana lima tahun ke depan ini tidak hanya tertulis indah dalam dokumen. Tapi bisa hidup, bergerak, dan menjawab kebutuhan masyarakat. Karena pada akhirnya, keberhasilan pembangunan bukan diukur dari grafik dan angka semata, tapi dari rasa: apakah masyarakat merasa lebih baik, lebih sejahtera, dan lebih didengar.
*Catatan Penulis:*
Tulisan ini adalah bagian pertama dari esai berseri _“RPJMD Purwakarta: Harapan dan Kenyataan”._ Seri ini saya tulis sebagai upaya warga untuk ikut terlibat secara kritis dalam menelaah isi Ranwal RPJMD Kabupaten Purwakarta 2025–2029.
Dalam seri pertama ini, saya membahas ketimpangan antara sektor industri, pertanian, dan pariwisata, serta bagaimana hal ini tercermin (atau justru belum cukup tercermin) dalam arah kebijakan daerah lima tahun ke depan.
Penulis : Agus Sanusi
Direktur pada lembaga kajian kebijakan publik Analitika Purwakarta.
Komentar0